Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DUNIA BID’AH

DUNIA BIDAH

 

PENGERTIAN BID’AH

Secara bahasa, bid’ah bermakna menciptakan sesuatu yang belum ada contohnya. Sedang secara istilah, bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) di masa Rasulullah SAW. Demikian menurut ‘Izz ad-Dîn ibn ‘Abd as-Salâm.[1] Ia mengatakan :
الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ r
PEMBAGIAN BID’AH SECARA GARIS BESAR
Melihat pengertian di atas, bid’ah mencakup segala hal baru baik berkaitan dengan ibadah atau tidak, baik yang tercela atau terpuji. Karena itu, secara garis besar bid’ah terbagi dua, hasanah dan sayyi’ah sebagaimana dawuh Imam Syâfi’i :
البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ
Bid’ah ada dua, terpuji dan tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (ajaran Nabi SAW ) termasuk terpuji, sedang yang menyalahi sunnah berati tercela
الْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلَالِ وَمَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لَا يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهِيَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ ( أخرجه البيهقي عن الشافعي )
Hal yang baru ada dua macam;
Pertama : Hal baru yang menyalahi al-Quran, hadits, atsar (ucapan shahabat) atau ijma’. Ini adalah bid’ah dlalâlah (sesat)
Kedua :  hal baru yang termasuk kebaikan dan tidak menyalahi Al Qur’an dan Al Hadits .  maka ini hal baru yang tidak tercela (bid’ah Hasanah ) . [2]

DALIL PEMBAGIAN BID’AH

1.      قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ ( رواه مسلم )

Siapa saja yang membuat suri tauladan yang baik (sunnah hasanah) dalam agama Islam, maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut dan pahala orang-orang yang mengamalkan setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan siapa saja yang merintis suri tauladan jelek (sunnah sayyi`ah) maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa orang-orang sertelahnya yang meniru perbuatan tersebut tanpa sedikitpun mengurangi dosa mereka. (HR. Muslim ).

Menurut Syekh Nabîl Husainy dalam  al-Bid’ah al-Hasanah wa Ashluhâ min al-Kitâb wa as-Sunnah, hadits di atas termasuk dalil pembagian bid’ah menjadi dua.

2.      رُوِيَ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ : دَخَلْت أَنَا وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ الْمَسْجِدَ , فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ جَالِسٌ إلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ , وَإِذَا نَاسٌ يُصَلُّونَ فِي الْمَسْجِدِ صَلَاةَ الضُّحَى , فَسَأَلْنَاهُ عَنْ صَلَاتِهِمْ - فَقَالَ : بِدْعَةٌ

Diriwayatkan dari Mujâhid ( seorang tabi’in ) ia berkata,: “ Aku dan ‘Urwah ibn Zubair masuk ke masjid. Ketika itu Abdullah ibnu Umar duduk menghadap ke kamar ‘Aisyah, sedang orang-orang melakukan shalat Dluhâ di masjid. Kemudian kami bertanya kepadanya tentang shalat mereka. Beliau menjawab : “ itu adalah bid’ah.”

3.      عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ فَقَالَ عُمَرُ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (رواه مالك )

Dari Abdurrahman ibnu Abd al-Qâri` ia berkata, “ Aku keluar bersama Sahabat Umar ibn al-Khathâb pada bulan Ramadlan menuju masjid. Ketika itu orang-orang terpisah-pisah. Sebagian shalat sendiri-sendiri, sedang yang lain shalat berjamaah bersama kelompoknya. Shahabat Umar berkata,“ Demi Allah, aku berpikiran seandainya kukumpulkan mereka di bawah satu qâri` ( imam ) tentu lebih pas. Kemudian ia mengumpulkan mereka dengan imam Ubay ibn Ka’ab. Abdurrahman berkata,“ Kemudian aku keluar lagi bersamanya di malam yang lain sedang manusia telah shalat di belakang qâri` ( imam ) mereka. Kemudian Umar berkata : “ Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. ( HR. Mâlik ).
Ucapan Sayyidina Umar dan putranya tersebut bukti terdapat bid’ah hasanah karena jamaah tarawih dan shalat Dluha di masjid termasuk hal-hal yang dianjurkan.

PEMBAGIAN BID’AH SECARA TERPERINCI

Sulthânul Ulama ( Syekh 'Izuddin ibnu Abdis Salâm)  dalam kitab al-Qowâid al-Ahkâm membagi Bid’ah menjadi lima bagian :
1         Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan syara’.
Diantaranya :
   Mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf demi menjaga keaslian Al Quran karena banyaknya para penghafal Al Quran yang meninggal.
   Membukukan hadits sebagaimana yang dilakukan Imam Bukhari, Muslim, Malik dan ahli hadits lainnya.
   Mempelajari ilmu nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain. Sebab hanya dengan ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami al-Quran dan hadits secara sempurna. Sedang memahami al-Quran dan al-hadits demi memelihara agama hukumnya wajib.
2        Bid’ah Muharramah (bid’ah dlalâh), yakni bid’ah yang bertentangan dengan al-Quran dan hadits Nabi. Seperti :
   Madzhab Jabbâriyah dan Murji’ah.
   Menganggap orang muslim lain yang berbeda aliran dengannya sebagai najis.
   Memiliki istri lebih dari empat.
   Ikut merayakan hari natal.
   Meyakini bahwa al-Quran adalah makhluk.
3        Bid’ah Mandûbah, yakni semua bid’ah yang  baik (sesuai dengan al-Quran dan bersifat menghidupkan sunnah Nabi SAW.) Misalnya :
   Mendirikan madrasah, pesantren, kantor-kantor, dan sarana kebaikan lainnya yang tidak dikenal di masa Nabi SAW.
   Berjabat tangan setelah shalat maktubah menurut Imam Nawawi.
   Mengadakan peringatan maulid Nabi SAW.
4        Bid’ah Makrûhah,  yaitu semua bid’ah yang berhubungan dengan hukum makruh. Seperti :
   Menghias masjid dengan hiasan yang berlebihan.
   Makan bawang merah, bawang putih mentah.
5        Bid’ah Mubâhah, yakni segala bid’ah yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan hadits Nabi SAW serta tidak pula dianjurkan. Seperti :
   Naik motor, mobil, dan lain-lain.
   Makan yang lezat.
   Membuat rumah yang besar, dan lain-lain. [3]
Dari kelima macam bid’ah di atas, yang tergolong bid’ah dlalâlah adalah bid’ah muharramah.[4]
Kriteria Bid’ah
Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar yang kuat dari dalil-dalil syar’i ( baik yang parsial/khusus atau umum), maka tidak tergolong bid’ah. Bila tidak ada dalil yang dapat dibuat sandaran, itulah bid’ah yang dilarang.
Kedua, memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama salaf ( ulama abad I, II, dan III hijriyah). Bila sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran dan kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu tidak bid’ah. Apabila tidak, maka perbuatan itu tergolong bid’ah.
Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan amaliyah-amaliyah yang telah ada hukumnya dari nash al-Quran dan hadits. Bila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan itu termasuk bid’ah muharramah. Bila memiliki kemiripan dengan perbuatan wajib, maka termasuk kategori bid’ah wajibah. Dan seterusnya……[5]
CONTOH PENERAPAN KONSEP BID’AH
  1. Muraqi  Shalat Jum’at
Muraqi adalah orang yang bertugas mengucapkan beberapa patah kata sebelum khatib menuju ke mimbar dalam shalat Jum’at. Biasanya ucapan muraqqy tersebut berisi pesan agar para hadirin mendengarkan khutbah dengan seksama.
Prosesi Tarqiyah yang berlaku di masa sekarang ini meskipun secara khusus tidak dikenal di masa Nabi SAW dan baru muncul setelah masa para khalifah (bermula dari amal masyarakat Syam) namun diperbolehkan (termasuk bid’ah hasanah) sebab berisi pesan agar para jamaah mendengarkan khutbah, serta dibaca sebelum khatib (orang yang khutbah) melakukan khutbah sehingga tergolong mendorong kepada kebaikan.
Adapun diantara sighot Muroqi adalah ;
معاشر المسلمين وزمرة المؤمنين رحمكم الله روي عن أبي هريرة t أن النبي r قال :" إذا قلت لصاحبك يوم الجمعة أنصت  والإمام يخطب فقد لغوت."  أنصتوا واسمعوا وأطيعوا رحمكم الله 2x أنصتوا واسمعوا لعلكم ترحمون
       Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tradisi prosesi muroqi itu diperbolehkan menurut Islam. Bahkan menurut ibn Hajar pernah diajarkan oleh Rasulullah meski dengan model yang berbeda sebagaimana tersebut dalam hadits :
أنه r أمر من يَسْتَنْصِتُ له الناسُ عند إرادته خطبةَ منى في حجة الوداع
Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan seseorang untuk menyuruh manusia mendengarkan dengan seksama sebelum beliau SAW khutbah Mina ketika haji wada’
Artinya, prosesi muraqy pernah dilakukan di masa Rasul SAW, meski mungkin dengan cara dan model yang berbeda dengan yang kita kenal sekarang.
Catatan
   Yang perlu dihindari adalah meyakini bahwa cara tersebut  termasuk bagian dari syariat. Dalam arti, secara khusus mempunyai landasan dan anjuran tersendiri  dari agama. Agama hanya memberikan anjuruan secara umum, sedang mengenai metode dan cara diserahkan kepada masing-masing orang. Bila ternyata diyakini mempunyai anjuran khusus, maka keyakinan inilah yang kurang tepat dan perlu untuk diluruskan dan dibenarkan.
  1. Tradisi Seputar Jenazah
Masyarakat Indonesia khususnya Jawa sangat lekat dengan tradisi kematian seperti tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, haul dan sebagainya.
Substansi dari tradisi-tradisi di atas adalah mendoakan mayat, shadaqah, dan mengingatkan kematian. Melihat ini, tradisi tersebut termasuk kategori hal yang dianjurkan oleh agama kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja. Yang tidak dikenal oleh syariat adalah pengkhususan pada hari-hari tersebut. Namun hal ini bukan barang ajaib atau aneh. Toh ini sama dengan kebiasaan kita untuk sekolah mulai pukul tujuh pagi. Padahal, sebenarnya waktu menuntut ilmu min al-mahd ilâ al-lahd. Sebagaimana kebiasaan kita tersebut tidak dapat dikatakan salah selama tidak diyakini mempunyai nilai plus dalam kaca mata syara’, maka demikian pula dengan tradisi di atas. Pengkhususan tahlil, mendoakan mayat, shadaqah pada hari-hari tertentu juga tidak salah selama tidak diyakini waktu-waktu tersebut mempunyai keistimewaan menurut syara’.
Bahkan bila kita merujuk komentar as-Suyûthy, tradisi “mayat” sebenarnya tidak hanya monopoli orang Jawa. Para shahabat pun dulu juga pernah merintisnya. Dalam Thulu’ ats-Tsurayyâ bi Idh-hâri mâ Kâna khafiyâ beliau meriwayatkan hadits marfu’ dari Thâwus :

إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام  (أخرجه أحمد وأبو نعيم )

Sesungguhnya orang mati difitnah ( ditanya malaikat ) di kuburnya selama tujuh hari. Karena itu mereka ( para shahabat ) suka untuk bershadaqah pada hari-hari tersebut ( untuk meringankan beban si mayit ).
Ucapan Thâwus di atas menjelaskan bahwa tradisi bershadaqah selama tujuh hari sepeninggal mayat pernah dilakukan oleh para shahabat yang pahalanya diberikan kepada si mayit untuk meringankan bebannya di dalam kubur. Meskipun hadits di atas adalah ucapan tabi’in, namun dalam masalah ini dapat dipakai sebagai dalil dengan alasan :
1.      Frase ( rangkaian kata ) إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا  berisikan informasi dunia gaib. Menurut istilah ilmu hadits, ucapan tabi’in yang demikian dapat dikategorikan sebagai hadits marfu’ karena termasuk mâ lâ majâla li al-‘aql fîh ( hal-hal yang bukan porsi kerja akal/tidak dapat dinalar).
2.      Hadits marfu’ menurut madzahib tsalatsah selain Syafi’i dapat menjadi sumber hukum. Sedang menurut Syafi’i harus mempunyai dalil pendukung lain. Dalam hadits ini menurut as-Suyûthy dapat menjadi dalil karena hadits senada juga diriwayatkan oleh Mujâhid dan ‘Ubaid ibn ‘Umair.
3.      Frase فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام menurut ahli hadits mempunyai tiga kemungkinan; dilakukan di masa Nabi dan di setujui oleh Beliau, dilakukan oleh semua shahabat (ijma’), dilakukan oleh sebagian shahabat. Tiga kemungkinan di atas menunjukkan bahwa perbuatan ini berdasar dan telah dikenal di masa awal Islam.
Tradisi ini, berdasarkan informasi yang diterima as-Suyûthy masih dilakukan di Makkah dan Madinah ketika masa hidup beliau. Bahkan dalam riwayat Ibn Juraij dari ‘Ubaid ibn ‘Umair dijelaskan bahwa orang munafiq di fitnah di kubur selama empat puluh hari. Imam Suyûthy juga menjelaskan bahwa menurut kitab-kitab tarikh para ulama yang beliau kaji, masyarakat biasanya berdiri di atas makam selama tujuh hari sambil membacakan al-Quran.[6] Husnudhan kita kepada para sesepuh, mungkin berlandaskan hadits ini tradisi tujuh hari dan empat puluh hari tetap dilestarikan oleh walisongo..Dari sini dapat kita pahami, bershadaqah, membaca al-Quran, dan amal-amal lain selama tujuh hari setelah kematian sudah dilakukan semenjak masa para shahabat. Yang menjadi bagian tradisi masyarakat adalah mengadakan secara besar-besaran pada hari ketiga, ketujuh, atau keempat puluh. Hal ini tidak berpengaruh apapun selama diyakini hal itu hanya tradisi bukan ajaran agama.
  1. Bersalaman Setelah Shalat Maktubah
Bersalaman setelah shalat menurut Imam Nawawi termasuk bid’ah mubâhah. Beliau mengatakan,
(مسألة) هل المصافحة بعد صلاة العصر والصبح فضيلة أم لا ؟ الجواب المصافحة سنة عند التلاقي وأما تخصيص الناس لها بعد هاتين الصلاتين فمعدود في البدعة المباحة والمختار أنه إن كان هذا الشخص قد اجتمع هو وهو قبل الصلاة فهو بدعة مباحة كما قيل وإن كانا لم يجتمعا فهو مستحب لأنه ابتداء اللقاء
(Soal) Apakah bersalaman setelah shalat ‘Ashar dan Shubuh memiliki keutamaan atau tidak ? ( Jawab) bersalaman sunnah dilakukan ketika bertemu. Sedangkan tindakan orang-orang mengkhususkan bersalaman setelah kedua shalat ini (‘Ashar dan Shubuh) maka termasuk bid’ah mubâhah. Pendapat yang dipilih sesungguhnya apabila seseorang telah berkumpul sebelum shalat maka termasuk bid’ah mubâhah sebagaimana  di atas. Sedang apabila sebelumnya belum pernah berkumpul maka sunnah (bersalaman). Karena itu adalah permulaan bertemu.[7]
 Memang banyak hadits yang menjelaskan kesunnahan bersalaman ketika bertemu. Diantaranya :
عن حُذيفةَ بْنِ اليمان عن النبى r قال "إنّ المؤمنَ إذا لقى المؤمن فسلَّمَ عليه وأخذ بيده فصافحه تناثرت خطاياهما كما يتناثر ورق الشجر" رواه الطبرانى فى الأوسط
Sesungguhnya ketika seorang mukmin bertemu dengan mukmin yang lain kemudian mengucapkan salam dan mengajak berjabat tangan maka dosa-dosanya rontok laksana rontoknya dedaunan pepohonan ( HR. at-Thabrâny )

 Bahkan menurut Hamzah an-Nâsyiry, bersalaman setelah shalat hukumnya sunah secara mutlak, baik telah bersalaman sebelumnya atau belum karena menurut Beliau shalat dianggap sebagai ghaibah hukmiyah. Syeikh Ibn ‘Allân mengatakan, [8]
وأفتى حمزة الناشري وغيرُهُ باستحبابها عقب الصلوات مطلقا أي وإن صافحه قبلها لأن الصلاة غيبة حكمية فتلُحق بالغيبة الحسية
Hamzah an-Nâsyiry dan yang lainnya berfatwa dengan kesunatan bersalaman setelah shalat secara mutlak, artinya meskipun sebelum shalat telah bersalaman. Hal ini karena shalat adalah ghaibah hukmiyah (secara hukum dianggap berpisah) sehingga disamakan dengan ghaibah hissiyah (perpisahan secara nyata).

PERTANYAAN SEPUTAR BID’AH

Pertanyaan Tentang hadits Semua Bid’ah Sesat
S      : Bagaimana kita menanggapi hadits :
إياكم ومُحْدَثَاتِ الأمورِ فإنّ كلَّ مُحْدَثَةٍ بدعةٌ وكلُّ بدعةٍ ضلالةٌ
“ Berhati – hatilah kalian terhadap Muhdatsat ( hal – hal yang baru ) karena sesungguhnya semua muhdatsat itu bidah , dan semua bidah adalah sesat “ (HR Abu Dâwud, Ahmad, Ibn Mâjah )
Hadits di atas mengindikasikan bahwa semua bid’ah adalah dlalâlah (sesat) ?
J       Hadits diatas memang benar tetapi kita tidak boleh tergesa-gesa memutuskan bahwa semua bidah adalah sesat.  Untuk dapat memahaminya dengan benar kita harus mengkaji semua hadits yang berhubungan dengannya. Sehingga kita tidak terjerumus pada penafsiran yang salah. Di bawah ini akan coba kami jelaskan ma’na hadits diatas, semoga Allah melapangkan hati kita .
Penjelasan Pertama 
Untuk dapat memahami sebuah ayat atau hadits dengan benar kita harus mempelajari sebab-sebab turunnya ayat atau hadits tersebut . Sesungguhnya tidak semua ayat atau hadits dapat diartikan secara langsung sesuai dengan makna lahiriyahnya dan tidak mau menerima penafsiran para ulama. Sebab dengan demikian kita akan kebingungan sendiri .
Hadits وكل بدعة ضلالة  tersebut merupakan sebagian hadits yang membutuhkan penafsiran . Jika kata   وكل بدعة (semua bid’ah) tidak ditafsirkan , maka apa yang terjadi  ? kita semua akan masuk neraka . Kenapa demikian ?
Sebab kehidupan kita tidak lepas dari perbuatan bid’ah, seperti cara berpakaian, berbagai jenis perabotan rumah tangga, sarana trasportasi (mobil, motor, peSAWat), pengeras suara, lantai masjid yang terbuat dari marmer, dan lain-lainnya adalah hal baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabat beliau.
        Jika hadits  كل بدعة  itu diartikan secara lahiriyah dan tidak ditafsiri maka tentunya kita akan mengatakan bahwa semua itu adalah bid’ah dan bagi pelakunya akan masuk neraka . 
Namun tak satupun ulama yang mengatakan bahwa naik motor, naik mobil, pesawat, lantai Masjid dengan tegel/marmer itu diharamkan. Para ulama berpendapat bahwa itu semua termasuk perkara yang diperbolehkan ( Mubah)
Penjelasan kedua
Hadits وكل بدعة ضلالة  merupakan hadits yang bersifat umum. Dalam hadits seperti ini biasanya terdapat kata atau kalimat yang tidak disertakan, tidak diucapkan tetapi telah dipahami oleh pembaca atau pendengarnya.
 Hadits  وكل بدعة ضلالة  mirip dengan hadits dibawah ini :
لايؤمنُ أحدُكم حتى يحب َّ لأخيه ما يحبُّ لنفسه
“Tidak beriman salah seorang diantara kalian sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai diri sendiri.” (HR. Bukhori)
ليس مِنَّا من لم يَتَغَنَّ بالقرآن
“Bukan dari golongan kami seseorang yany tidak membaca Al-Quran dengan suara yang baik (merdu).” (HR. Bukhiri, Abu Dawud dan Ahmad)
Jika kata (Tidak dan bukan dari golongan kami) dalam beberapa hadits di atas tidak dijelaskan dan ditafsirkan, lalu bagaimana nilai bacaan Al-Quran kita ? Bagaimana kedudukan kita dalam Islam ?
Nabi SAW mengatakan :
 Bukan dari golongan kami
Jika tidak berada dalam golongan Nabi SAW dan para sahabatnya lalu kita berada dalam kelompok (golongan) siapa?
Bukankah orang yang membaca Al -Qur’an meskipun tanpa dilagukan itu bernilai pahala ?
Oleh karena itulah, hadits di atas dan sejenisnya perlu dan harus ditafsirkan dengan hadits lain sehingga kita tidak salah memahami ucapan Rasul SAW.
Para Ulama’ menyatakan bahwa kata “tidak” dalam hadits di atas artinya adalah “tidak sempurna.” Dalam hadits ini ada kata “sempurna”  yang tidak diucapkan oleh Rasul karena telah difahami para sahabat.
Sedangkan kata “Bukan dari golongan kami”  artinya “Bukan dari golongan terbaik kami”.
Para ulama’ menjelaskan bahwa dalam hadits وكل بدعة ضلالة juga terdapat kalimah yang tidak diucapkan oleh Nabi SAW namun telah dipahami oleh para sahabat. Kalimat yang dibuang itu terletak setelah kata “ Bid’atin ” dan bunyinya adalah:
“Yang bertentangan dengan syari’at”.
Dengan demikian arti komplit hadits diatas adalah:
“ Semua  bid’ah yang bertentangan dengan syari’at adalah sesat dan semua yang  sesat tempatnya adalah dineraka”.
Terbukti Sayyidina Umar dalam masalah tarawih menyatakan نعمت البدعة هذه . Ini menunjukkan Beliau memahami maksud bid’ah di atas sebagaiamana yang dikemukakan para ulama.[9]
Penjelasan Ketiga
Menurut Imam Nawawi hadits tersebut ditakhshîsh dengan hadits lain sehingga hanya berlaku untuk bid’ah-bid’ah yang dlalalah. Hadits tersebut adalah :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ ( رواه مسلم )
Hal ini juga dikuatkan oleh ucapan Sayyidina Umar sebagaimana di atas. [10]
Penjelasan Keempat
Lafal كل yang ada dalam hadits tersebut bermakna بعض ( sebagian ). Penggunaan كل dengan arti بعض seperti ini juga terjadi dalam al-Quran misalnya : [11]
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ  ( الأنبياء : 30 )
Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? ( QS Al-Mu’minun : 30 )
Walaupun ayat ini menggunakan kata kullu namun tidak berarti segala sesuatu diciptakan dari air. Terbukti ada ayat :
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَّارِجٍ مِّنْ نَّارٍ ( الرحمن : 15 )
Dan dia menciptakan jin dari nyala api ( QS ar-Rahmân : 15 ).
Dengan demikian, كل dalam hadits di atas juga harus diartikan بعض agar tidak bertentangan dengan hadits lain semisal:
من ابتدع بدعةً ضلالةً  لا تُرضِي اللهَ ورسولَه كان عليه مِثْلُ آثامِ مَن عَمِل بها لا ينقص من أوزارهم شيئٌ (رواه الترمذي)
Barang siapa memperbuat bid’ah dlalâlah, bid’ah yang tidak membuat ridla Allah dan Rasul-Nya maka ia mendapat dosa sebagaimana dosa orang yang melakukan bid’ah tersebut (setelahnya).Tidak kurang sedikitpun dari dosa mereka. (HR at-Tirmidzai, Ibn Mâjah).
Hadits di atas secara tegas menyatakan bahwa ada pemilahan bid’ah. Terbukti Beliau Rasulullah SAW menggunakan kata بدعةً ضلالةً  yang secara tidak langsung menyatakan ada bid’ah yang tidak dlalalah. Umpama semua bid’ah sesat, tentunya Beliau SAW tidak akan menambah kata ضلالة dalam hadits di atas.
Pertanyaan Hadits Perbuatan Baru Ditolak
S      Bagaimana kita menanggapi hadits :

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ( رواه مسلم )

Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya maka amal itu ditolak ( HR Muslim dari Aisyah ).
Hadits di atas seakan menunjukkan bahwa setiap bid’ah adalah sesat ?
J       Hadits di atas memang benar. Namun tidak dapat digunakan landasan untuk mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat. Terbukti dalam hadits di atas disebutkan : لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا . Ini menunjukkan bahwa yang ditolak adalah hal baru yang tidak mempunyai landasan sama sekali dalam agama. Sedang yang mempunyai dalil meskipun secara umum tidak masuk dalam kategori hadits ini.
Catatan
Hadits yang semisal ini memang sering dijadikan dalil melarang semua hal baru yang tidak pernah dilaksanakan di masa Nabi SAW, padahal yang dimaksud tidak seperti itu. Para ulama menyatakan bahwa yang dilarang dalam hadits-hadits itu adalah membuat-buat hukum baru yang tidak pernah disebutkan dalam al-Quran atau hadits, baik secara tegas atau tidak (implisit), secara umum atau khusus, lalu meyakininya sebagai suatu bentuk ibadah murni Kepada Allah SWT.
Amal-Amal yang Tidak Dilakukan Nabi dan Shahabat
S      Bukankah banyak tradisi dan amaliyah masyarakat yang tidak pernah dilakukan oleh para shahabat maupun ulama salaf. Ini ‘kan satu bukti amaliyah tersebut tidak disyariatkan dan tidak diperbolehkan. Umpama hal tersebut diperbolehkan tentu mereka ( para shahabat dan ulama salaf ) akan melakukannya ?
J       Tidak setiap amaliyah yang tidak dikerjakan oleh shahabat atau ulama salaf berarti tidak boleh. Ada kemungkinan hal tersebut tidak dikerjakan oleh mereka karena udzur, momen yang tidak tepat, atau faktor lain. Standar menentukan bid’ah adalah adanya landasan hukum menurut syara’ ataukah tidak, bukan pernah dilakukan orang kuno atau tidak. Imam Syafi’I mengatakan :
كلُ ما له مُستَنَدٌ مِن الشرعِ فليس ببدعةٍ ولو لم يَعملْ به السّلفُ لأنّ تركَهم لِلْعَملِ به قد يكونُ لعذرٍ قام لهم في الوقت أو لِمَا هو أفضلُ منْهُ أو لعلّه لَمْ يَبْلُغْ جميعَهم عِلْمٌ به
Setiap hal yang mempunyai landasan dari syara’ maka tidak termasuk bid’ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf. Karena mereka meninggalkan hal tersebut ada kemungkinan disebabkan udzur yang ada pada waktu itu atau karena terdapat amal yang lebih utama atau disebabkan informasi tentang hal tersebut tidak menjangkau mereka semua.[12]
Hal ini juga pernah diungkapkan oleh Sayyidina ‘Ali sebagaimana dalam hadits :
عن الوليد بن سريع مولَى عمرٍو بن حريث قال خرجْنا مع أمير المؤمنين علي بن أبي طالب t في يوم عيد فسَأَلَه قوم من أصحابه فقالوا يا أمير المؤمنين ما تقول في الصلاة يوم العيد قبل الإمام وبعده قال فلمْ يَرُدَّ عليهم شيئا ثم جاء قوم آخر فسألوه كما سألوه الذين كانوا قبلهم فما رَدَّ علهيم فلما انتْهَيَنْاَ إلى الصلاة صلَّى بالناس فكبَّرَ سبعا و خمسا ثم خطب الناسَ ثم نزل فركِب فقالوا يا أمير المؤمنين هؤلاء قومٌ يُصَلُّونَ  قال فما عسيتُ أن أصْنَعَ سألتموني عن السُّنَّة  فإن النبي r لمْ يُصَلِّ قبلها ولا بعدها فمَنْ شاء فَعل ومن شاء تَرك أتَرَوْنِي أمْنَعُ أقواما يُصَلُّون فأكون بمنزلة من يمنع عبدا أن يُصَلِّيَ ( رواه البزار )
Dari al-Walîd ibn Sarî’ maulâ ‘Amr ibn Harîts ia berkata : Aku keluar bersama Amiril mukminin Ali bin Abi Thalib di hari raya. Beliau ditanya oleh para sahabatnya. Mereka berkata," Ya Amiral mu’minîn, Bagaimana pendapat Anda tentang orang yang shalat ( sunnah ) di hari raya sebelum imam dan setelahnya ?" Beliau tidak menjawab sama sekali. Kemudian datang segolongan orang menanyakan hal yang sama. Beliau juga tidak menjawabnya. Ketika kami sampai di tempat shalat beliau shalat mengimami manusia dengan takbir tujuh kali dan lima kali. Kemudian Beliau berkhotbah lalu turun dan naik kendaraan. Mereka ( manusia) bertanya,"Ya Amiral mu’minîn, mereka segolongan orang melakukan shalat." Beliau berkomentar,"Apa yang harus kuperbuat ? Kalian menanyakan padaku tentang sunnah. Padahal Nabi SAW tidak pernah melakukan shalat sebelumnya ( shalat ‘îd ) maupun sesudahnya. Barang siapa yang ingin maka shalatlah. Barang siapa siapa yang ingin ( tidak melakukan ) maka tinggalkanlah ! Apakah kalian pikir aku akan melarang orang-orang untuk melakukan shalat sehingga aku seperti orang yang melarang seorang hamba untuk melakukan shalat?" ( HR Bazzâr ).
Dalam kisah di atas, ternyata Sayyidina Ali tidak melarang orang yang melakukan shalat sunnah sebelum melakukan shalat hari raya. Padahal hal itu tidak pernah dilakukan Rasululah. Beliau tidak ingin dikenal sebagai orang yang berlagak menjadi penentu hukum dengan melarang suatu perbuatan padahal Nabi tidak pernah melarangnya. Ini menunjukkan suatu perbuatan diperbolehkan selama tidak ada larangan dari syara’.
Tidak Setiap Yang Ditinggalkan Rasulullah Berarti Tidak Boleh
Di samping itu, tidak setiap yang ditinggalkan Rasulullah SAW berarti tidak diperbolehkan. Hal tersebut bisa disebabkan beberapa faktor. Diantaranya :
1. Beliau meninggalkan karena jijik. Sebagaimana dalam hadits :

عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ r بَيْتَ مَيْمُونَةَ فَأُتِيَ بِضَبٍّ مَحْنُوذٍ فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ r بِيَدِهِ فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ أَخْبِرُوا رَسُولَ اللَّهِ r بِمَا يُرِيدُ أَنْ يَأْكُلَ فَقَالُوا هُوَ ضَبٌّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَرَفَعَ يَدَهُ فَقُلْتُ أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ لَا وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ قَالَ خَالِدٌ فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ
Dari Khalid bin Walîd sesungguhnya ia masuk bersama Rasulullah SAW ke rumah Maimunah. Rasulullah disuguh dengan dlab (hewan mirip biawak yang ada di Arab) yang dipanggang. Rasulullah menjulurkan tangan Beliau ke hidangan tersebut. Sebagian wanita berkata,“Mintalah Rasulullah memilih apa yang hendak beliau makan !” Para sahahbat pun berkata, “Ini adalah dlab, Wahai Rasulallah !” Rasulullah pun mengangkat tangannya. Aku (Khalid) bertanya,“Apakah ini haram, Wahai Rasulallah?” Beliau menjawab, “Tidak, hanya saja ini tidak terdapat di tanah kaumku sehingga aku merasa jijik (tidak berselera). Khalid berkata, “Maka akupun memakannya, sedang Rasulullah SAW melihat.” (HR Bukhâri : 5111)
Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah kadang meninggalkan sesuatu karena menurut Beliau menjijikkan meskipun itu tidak haram.
2. Meninggalkan karena lupa sebagaimana dalam hadits :
سها r في الصلاة فترك منها شيئا فسُئل هل حَدث في الصلاة شيئ قال إنما أنا بشر أنسَى كما تنسَون فإذا نسيتُ فذكِّروني ( أخرجه البخاري ومسلم وغيرهما)
Rasulullah SAW lupa dalam shalat sehingga Beliau meninggalkan sesuatu. Beliau ditanya,”Apakah ada peraturan baru dalam shalat?” Beliau menjawab, “Aku adalah manusia. Aku juga lupa sebagaimana kalian lupa. Maka bila aku lupa, ingatkanlah!” (HR Bukhari).
3. Meninggalkan karena khawatir akan difardlukan seperti dalam permasalahan shalat tarawih.
4. Meninggalkan karena telah masuk dalam anjuran ayat atau hadits secara umum seperti meninggalkan beberapa macam bentuk kesunahan karena telah terangkum dalam perintah
 
Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
Dan ayat-ayat yang lain.
5. Dan faktor-faktor lain.[13]
Contoh Perbuatan Yang Dilakukan Shahabat Tanpa Ada Keterangan Dari Nabi
Para shahabat ternyata sangat memahami konsep yang diajarkan Rasulullah. Terbukti mereka sering melakukan perbuatan yang mereka tidak melihat Rasulullah SAW melakukan atau memerintahkan dan Nabi SAW ternyata menyetujui perbuatan tersebut. Di samping itu, mereka juga melakukan suatu perbuatan sepeninggal Rasulullah SAW yang mereka anggap hal itu masih masuk dalam kategori perbuatan yang dianjurkan secara umum atau diperbolehkan. Di bawah ini kami sampaikan sebagian contoh dari perbuatan yang dilakukan para shahabat tersebut :
1. Perbuatan yang Dilakukan di Masa Rasulullah
C       عن سيدنا رِفاعةَ بنِ رافعٍ t قال كُنَّا نُصلِّي وراءَ النبي r فلَمَّا رَفع رأسَه مِن الركعةِ قال سمع الله لِمَن حمده قال رجل وراءه ربنا ولك الحمد حمدًا كثيرًا طيِّبا مبارَكًا فيه فلَمَّا انْصرفَ قال مَنِ المتكلِّمُ قال أنا قال رأيتُ بِضْعَةً وثلاثين مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهمْ يَكْتُبُها ( أخرجه البخاري والنسائي وأبو داود وأحمد وابن خزيمة )
Dari Sayyidina Rifâ`ah bin Râfi’ ra. Beliau berkata : Kami shalat ( berjamaah ) di belakang Rasulullah SAW. Ketika beliau SAW mengangkat kepala dari ruku’ beliau SAW bersabda : Sami’allahu liman hamidah. Seseorang di belakang beliau mengatakan : Rabbanâ walaka al-hamd hamdan katsîran thayyiban mubârakan fîh. Ketika selesai shalat Rasulullah bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?” Laki-laki tersebut menjawab : “Saya.” Rasulullah bersabda : “Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat terburu-buru siapa di antara mereka yang akan mencatat amal ( bacaan ) tersebut.” ( Ditakhrîj oleh al-Bukhâri, an-Nasâ`I, Abu Dâwud, Ahmad, dan Ibn Khuzaimah ).
Ibn Hajar al-‘Asqalâny dalam Fath al-Bâri`mengatakan, “ Hadits tersebut menjadi dalil diperbolehkan membaca dzikir dalam shalat yang tidak diajarkan Rasulullah SAW selama tidak menyalahi yang diajarkan Rasulullah SAW ( ma`tsûr ) dan diperbolehkan berdzikir dengan suara keras selama tidak mengganggu orang lain.” [14]
C       عن سيدنا أنس بن مالك t قال كنتُ جالسا مع رسول الله r في الحَلَقَة إذ جاء رجلٌ فسلََّم على النبي r وعلى القوم فقال السلام عليكم فقال رسول الله r وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته فلَمَّا جلس قال الحمد لله حمدًا كثيرا طيِّبًا مبارَكًا فيه كما يُحِبُّ ربُّنا ويَرْضَى فقال النبي r والذي نفسي بيده لَقَدِ ابْتَدَرَها عشرةُ أمْلاكٍ كلُّهم حَريصونَ على أنْ يكتبوها فما دَرَوْا كيف يَكتبونها فرَجعُوا إلى ذي العِزَّةِ جَلَّ ذِكْرُهُ فقال اكْتُبُوها كما قال عبدي ( أخرجه أحمد )
Dari Sayyidina Anas bin Malik ra. Ia berkata : Aku duduk bersama Rasulullah SAW dalam suatu halaqah. Tiba-tiba datang seoarng laki-laki. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah dan orang-orang dengan mengucapkan : Assalâmu’alaikum. Rasulullah SAW menjawab, "Wa’alaikum wr.wb. Ketika mau duduk ia berkata, "al-Hamd lillâh hamdan katsîran Thayyiban Mubârakan fîh kamâ Yuhibbu Rabbunâ wa Yardlâ." Kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya. Sungguh sepuluh malaikat berebut karena ingin mencatat amal ( bacaan ) tersebut. Mereka tidak mengetahui bagaiman cara mencatatnya. Kemudian mereka mengadu kepada Allah SWT. Allah berfirman, "Tulislah sebagaiman yang diucapkan hambaku." ( HR Ahmad )
C       عن السيدة عائشة رضي الله عنها أن النبي r بعث رجلا على سَرِيَّةٍ وكان يقرأ لأصحابه في صلاته فيختِمُ ب "قل هو الله أحد" فلمَّا رجعوا ذكروا ذلك للنبي r فقال سَلُوْه لأيِّ شيء يصنَع ذلك ؟ فسألوه فقال لأنها صفة الرحمن وأنا أُحِبُّ أنْ أقرأ بها فقال النبي r أخبِروه أن الله يحبه (أخرجه البخاري ومسلم وغيرهما)
Dari Sayyidah ‘Aisyah ra. sesungguhnya Nabi mengutus seorang laki-laki untuk menjadi kepala pasukan perang. Dalam shalat, ia membaca al-Quran dan mengakhiri dengan Qul huwa Allah ahad. Ketika mereka (pasukan perang) kembali, mereka menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW. Rasulullah bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukan itu ?” Kemudian mereka menanyakan kepadanya. Ia menjawab, “Karena itu (al-Ikhlâsh) adalah sifat Allah dan aku suka untuk membacanya.” Rasulullah bersabda, “Beritahukan kepadanya bahwasanya Allah mencintainya.” (HR Bukhâri Muslim dan lainnya).
2. Perbuatan yang Dilakukan Sepeninggal Rasulullah
عن أبي الطفيل قال قدِم معاويةُ وابن عباس الكعبة فاسْتَلَمَ ابن عباس الأركان كلها فقال له معاوية إنما استلم رسول الله r الركنين اليَمَانيْنِ قال ابن عباس ليس شيءٌ من البيت مهجورا (أخرجه البخاري والترمذي)
 Dari Abu Thufail ia berkata, Mu’awiyah dan Ibn ‘Abbâs mendatangi Ka’bah. Kemudian Ibn ‘Abbas mengusap semua rukun (sudut Ka’bah). Mu’awiyah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW hanya mengusap dua rukun Yamany.” Ibn Abbas berkata, “ Tidak ada bagian dari baitullah yang dilarang.” (HR Bukhâri dan at-Tirmidzi)
Termasuk di dalam hal ini adalah perbuatan-perbuatan lain yang sudah masyhûr seperti adzan dua kali dalam shalat Jum’at dan mengumpulkan mushaf oleh Sayyidina ‘Utsman, merutinkan dan mengumpulkan shahabat dalam jamaah shalat tarawih oleh Sayyidina Umar, memerangi para penentang zakat oleh Sayyidina Abu Bakar, dan lain-lain.


[1] Abî Muhammad ‘Izz ad-Dîn ibn ‘Abd as-Salâm, Qawâ’id al-Ahkâm, ( Beirut : Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyah ), tt., vol. II, hal. 172. Pendapat ini didukung oleh Imam Syâfi’I, Imam Nawawi, dan Abû Syâmah dari Syâfi’iyyah, al-Qarâfy dan az-Zarqâny dari Mâlikiyah, Ibn ‘Âbidîn dari Hanafiyah, Ibn al-Jauzy dari Hanâbilah, dan Ibn Hazm.
[2] Syihâb ad-Dîn Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Hajar al-‘Asqalâny, Fath al-Bâri`, (Beirut : Dâr al-Ma’rifah), 1979, vol. XIII, hal. 293
[3] Abî Muhammad ‘Izz ad-Dîn ibn ‘Abd as-Salâm, Op.Cit., hal. 173.
[4] Abi Bakr bin Muhammad Syathâ, I’ânah at-Thâlibîn, (Beirut : Dâr al-Fikr), vol.I, 271., Ibn Hajar al-Haitamy, al-Fatâwâ al-Hadîtsiyah, ( Beirut : Dâr al-Fikr), hal. 109-110.
[5] KH. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 6-7
[6] Jalâl ad-Dîn as-Suyûthy, al-Hâwî li al-Fatâwi, Dâr al-Jîl, cet.ke-1, 1412, vol.II, hal. 178.
[7] Yahyâ bin Syaraf an-Nawawi, Fatâwî an-Nawawi, hal.61
[8] Muhammad bin ‘Allân as-Shiddîqy, al-Futûhât ar-Rabbâniyah ‘alâ al-Adzkâr an-Nawawiyah, (Beirut : Dâr al-Fikr), 1978, vol.V, hal.297
[9] Novel bin Muhammad Alaydrus, Mana Dalilnya Seputar Permasalahan Ziarah Kubur, Tawassul, Tahlil, (Surakarta : Taman Ilmu), cet. ke-III, Maret 2005, hal.17-20
[10] Yahyâ bin Syaraf an-Nawawi, Syarh Muslim, (Beirut : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah), 1995, vol.III, hal.461
[11] Ibid, Muhyiddin Abdusshamad, Fiqh Tradisionalis, ( Khalista : Surabaya ), cet.ke-3, 2005, hal. 29-31.
[12] Yûsuf Khaththâr Muhammad, al-Masû'ah al-Yûsufiyah fî Bayân Adillah as-Shûfiyah, (Damaskus : Dâr at-Taqwâ), hal. 480.
[13]Ibid, hal.485.
[14] Ibid, hal. 495.
Dutz
Dutz pemuda desa yang gagal nyantri

Post a Comment for "DUNIA BID’AH"