DUNIA BID’AH
DUNIA BID’AH
PENGERTIAN BID’AH
Secara bahasa, bid’ah bermakna menciptakan sesuatu
yang belum ada contohnya. Sedang secara istilah, bid’ah adalah mengerjakan
sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) di masa Rasulullah SAW. Demikian
menurut ‘Izz ad-Dîn ibn ‘Abd as-Salâm.[1] Ia mengatakan :
الْبِدْعَةُ
فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ r
PEMBAGIAN
BID’AH SECARA GARIS BESAR
Melihat pengertian di atas, bid’ah
mencakup segala hal baru baik berkaitan dengan ibadah atau tidak, baik yang
tercela atau terpuji. Karena itu, secara garis besar bid’ah terbagi dua, hasanah
dan sayyi’ah sebagaimana dawuh Imam Syâfi’i :
البِدْعَةُ بِدْعَتَانِ مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ
فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ
Bid’ah ada dua, terpuji dan tercela. Bid’ah yang sesuai
dengan sunnah (ajaran Nabi SAW ) termasuk terpuji, sedang yang menyalahi sunnah
berati tercela
الْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ
كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلَالِ
وَمَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لَا يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهِيَ
مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ ( أخرجه البيهقي عن الشافعي )
Hal yang baru ada dua macam;
Pertama : Hal baru yang menyalahi al-Quran, hadits, atsar
(ucapan shahabat) atau ijma’. Ini adalah bid’ah dlalâlah (sesat)
Kedua : hal baru
yang termasuk kebaikan dan tidak menyalahi Al Qur’an dan Al Hadits . maka ini hal baru yang tidak tercela (bid’ah
Hasanah ) . [2]
DALIL PEMBAGIAN BID’AH
1. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ ( رواه مسلم )
Siapa saja yang membuat
suri tauladan yang baik (sunnah hasanah) dalam agama Islam, maka ia akan
mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut dan pahala orang-orang yang
mengamalkan setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan siapa
saja yang merintis suri tauladan jelek (sunnah sayyi`ah) maka ia akan
mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa orang-orang sertelahnya yang
meniru perbuatan tersebut tanpa sedikitpun mengurangi dosa mereka. (HR. Muslim
).
Menurut Syekh Nabîl Husainy dalam al-Bid’ah al-Hasanah wa Ashluhâ min al-Kitâb wa as-Sunnah, hadits di atas termasuk dalil pembagian bid’ah menjadi dua.
2. رُوِيَ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ : دَخَلْت أَنَا وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ الْمَسْجِدَ , فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ جَالِسٌ إلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ , وَإِذَا نَاسٌ يُصَلُّونَ فِي الْمَسْجِدِ صَلَاةَ الضُّحَى , فَسَأَلْنَاهُ عَنْ صَلَاتِهِمْ - فَقَالَ : بِدْعَةٌ
Diriwayatkan dari Mujâhid (
seorang tabi’in ) ia berkata,: “ Aku dan ‘Urwah ibn Zubair masuk ke masjid.
Ketika itu Abdullah ibnu Umar duduk menghadap ke kamar ‘Aisyah, sedang
orang-orang melakukan shalat Dluhâ di masjid. Kemudian kami bertanya kepadanya
tentang shalat mereka. Beliau menjawab : “ itu adalah bid’ah.”
3. عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ فَقَالَ عُمَرُ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (رواه مالك )
Dari Abdurrahman ibnu Abd
al-Qâri` ia berkata, “ Aku keluar bersama Sahabat Umar ibn al-Khathâb pada
bulan Ramadlan menuju masjid. Ketika itu orang-orang terpisah-pisah. Sebagian
shalat sendiri-sendiri, sedang yang lain shalat berjamaah bersama kelompoknya.
Shahabat Umar berkata,“ Demi Allah, aku berpikiran seandainya kukumpulkan
mereka di bawah satu qâri` ( imam ) tentu lebih pas. Kemudian ia mengumpulkan
mereka dengan imam Ubay ibn Ka’ab. Abdurrahman berkata,“ Kemudian aku keluar
lagi bersamanya di malam yang lain sedang manusia telah shalat di belakang
qâri` ( imam ) mereka. Kemudian Umar berkata : “ Sebaik-baik bid’ah adalah
ini”. ( HR. Mâlik ).
Ucapan Sayyidina Umar dan putranya tersebut bukti
terdapat bid’ah hasanah karena jamaah tarawih dan shalat Dluha di masjid
termasuk hal-hal yang dianjurkan.
PEMBAGIAN BID’AH SECARA TERPERINCI
Sulthânul
Ulama ( Syekh 'Izuddin ibnu Abdis Salâm)
dalam kitab al-Qowâid al-Ahkâm membagi Bid’ah menjadi lima bagian :
1
Bid’ah
Wajibah, yakni
bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan syara’.
Diantaranya
:
☞
Mengumpulkan
al-Quran dalam satu mushaf demi menjaga keaslian Al Quran karena banyaknya para
penghafal Al Quran yang meninggal.
☞
Membukukan
hadits sebagaimana yang dilakukan Imam Bukhari, Muslim, Malik dan ahli hadits
lainnya.
☞
Mempelajari
ilmu nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain. Sebab hanya dengan ilmu-ilmu
inilah seseorang dapat memahami al-Quran dan hadits secara sempurna. Sedang
memahami al-Quran dan al-hadits demi memelihara agama hukumnya wajib.
2
Bid’ah
Muharramah (bid’ah
dlalâh), yakni bid’ah
yang bertentangan dengan al-Quran dan hadits Nabi. Seperti :
☞
Madzhab
Jabbâriyah dan Murji’ah.
☞
Menganggap
orang muslim lain yang berbeda aliran dengannya sebagai najis.
☞
Memiliki
istri lebih dari empat.
☞
Ikut
merayakan hari natal.
☞
Meyakini
bahwa al-Quran adalah makhluk.
3
Bid’ah
Mandûbah, yakni semua bid’ah yang baik (sesuai dengan al-Quran dan bersifat
menghidupkan sunnah Nabi SAW.) Misalnya :
☞
Mendirikan
madrasah, pesantren, kantor-kantor, dan sarana kebaikan lainnya yang tidak
dikenal di masa Nabi SAW.
☞
Berjabat
tangan setelah shalat maktubah menurut Imam Nawawi.
☞
Mengadakan
peringatan maulid Nabi SAW.
4
Bid’ah
Makrûhah, yaitu semua bid’ah yang berhubungan dengan
hukum makruh. Seperti :
☞
Menghias masjid dengan hiasan yang
berlebihan.
☞
Makan
bawang merah, bawang putih mentah.
5
Bid’ah
Mubâhah, yakni segala bid’ah yang tidak
bertentangan dengan Al-Quran dan hadits Nabi SAW serta tidak pula dianjurkan.
Seperti :
☞
Naik
motor, mobil, dan lain-lain.
☞
Makan
yang lezat.
☞
Membuat
rumah yang besar, dan lain-lain. [3]
Dari kelima macam bid’ah di atas, yang
tergolong bid’ah dlalâlah adalah bid’ah muharramah.[4]
Kriteria Bid’ah
Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar yang
kuat dari dalil-dalil syar’i ( baik yang parsial/khusus atau umum), maka tidak
tergolong bid’ah. Bila tidak ada dalil yang dapat dibuat sandaran, itulah
bid’ah yang dilarang.
Kedua, memperhatikan apa yang menjadi ajaran
ulama salaf ( ulama abad I, II, dan III hijriyah). Bila sudah diajarkan oleh
mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran dan kaidah yang mereka
buat, maka perbuatan itu tidak bid’ah. Apabila tidak, maka perbuatan itu
tergolong bid’ah.
Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni
mengukur perbuatan tersebut dengan amaliyah-amaliyah yang telah ada hukumnya
dari nash al-Quran dan hadits. Bila identik dengan perbuatan haram, maka
perbuatan itu termasuk bid’ah muharramah. Bila memiliki kemiripan dengan perbuatan
wajib, maka termasuk kategori bid’ah wajibah. Dan seterusnya……[5]
CONTOH PENERAPAN KONSEP BID’AH
- Muraqi Shalat Jum’at
Muraqi adalah orang yang bertugas mengucapkan
beberapa patah kata sebelum khatib menuju ke mimbar dalam shalat Jum’at.
Biasanya ucapan muraqqy tersebut berisi pesan agar para hadirin mendengarkan
khutbah dengan seksama.
Prosesi Tarqiyah yang
berlaku di masa sekarang ini meskipun secara khusus tidak dikenal di masa Nabi
SAW dan baru muncul setelah masa para khalifah (bermula dari amal masyarakat
Syam) namun diperbolehkan (termasuk bid’ah hasanah) sebab
berisi pesan agar para jamaah mendengarkan khutbah, serta dibaca sebelum khatib
(orang yang khutbah) melakukan khutbah sehingga tergolong mendorong
kepada kebaikan.
Adapun diantara sighot Muroqi
adalah ;
معاشر
المسلمين وزمرة المؤمنين رحمكم الله روي عن أبي هريرة t أن النبي r قال :" إذا قلت لصاحبك يوم الجمعة أنصت والإمام يخطب فقد لغوت." أنصتوا
واسمعوا وأطيعوا رحمكم الله 2x أنصتوا واسمعوا لعلكم ترحمون
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
tradisi prosesi muroqi itu diperbolehkan menurut Islam. Bahkan menurut ibn
Hajar pernah diajarkan oleh Rasulullah meski dengan model yang berbeda
sebagaimana tersebut dalam hadits :
أنه
r أمر من يَسْتَنْصِتُ
له الناسُ عند إرادته خطبةَ منى في حجة الوداع
Sesungguhnya Rasulullah
memerintahkan seseorang untuk menyuruh manusia mendengarkan dengan seksama
sebelum beliau SAW khutbah Mina ketika haji wada’
Artinya, prosesi muraqy pernah
dilakukan di masa Rasul SAW, meski mungkin dengan cara dan model yang berbeda
dengan yang kita kenal sekarang.
Catatan
Yang perlu dihindari adalah meyakini bahwa
cara tersebut termasuk bagian dari
syariat. Dalam arti, secara khusus mempunyai landasan dan anjuran tersendiri dari agama. Agama hanya memberikan anjuruan
secara umum, sedang mengenai metode dan cara diserahkan kepada masing-masing
orang. Bila ternyata diyakini mempunyai anjuran khusus, maka keyakinan inilah
yang kurang tepat dan perlu untuk diluruskan dan dibenarkan.
- Tradisi Seputar Jenazah
Masyarakat Indonesia khususnya Jawa sangat
lekat dengan tradisi kematian seperti tujuh hari, empat puluh hari, seratus
hari, haul dan sebagainya.
Substansi dari tradisi-tradisi di atas
adalah mendoakan mayat, shadaqah, dan mengingatkan kematian. Melihat ini,
tradisi tersebut termasuk kategori hal yang dianjurkan oleh agama kapan saja,
di mana saja, dan oleh siapa saja. Yang tidak dikenal oleh syariat adalah
pengkhususan pada hari-hari tersebut. Namun hal ini bukan barang ajaib atau
aneh. Toh ini sama dengan kebiasaan kita untuk sekolah mulai pukul tujuh pagi.
Padahal, sebenarnya waktu menuntut ilmu min al-mahd ilâ al-lahd.
Sebagaimana kebiasaan kita tersebut tidak dapat dikatakan salah selama tidak
diyakini mempunyai nilai plus dalam kaca mata syara’, maka demikian pula dengan
tradisi di atas. Pengkhususan tahlil, mendoakan mayat, shadaqah pada hari-hari
tertentu juga tidak salah selama tidak diyakini waktu-waktu tersebut mempunyai
keistimewaan menurut syara’.
Bahkan bila kita merujuk komentar
as-Suyûthy, tradisi “mayat” sebenarnya tidak hanya monopoli orang Jawa. Para shahabat pun dulu juga pernah merintisnya. Dalam Thulu’
ats-Tsurayyâ bi Idh-hâri mâ Kâna khafiyâ beliau meriwayatkan hadits marfu’
dari Thâwus :
إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام (أخرجه أحمد وأبو نعيم )
Sesungguhnya
orang mati difitnah ( ditanya malaikat ) di kuburnya selama tujuh hari. Karena
itu mereka ( para shahabat ) suka untuk bershadaqah pada hari-hari tersebut (
untuk meringankan beban si mayit ).
Ucapan Thâwus
di atas menjelaskan bahwa tradisi bershadaqah selama tujuh hari sepeninggal
mayat pernah dilakukan oleh para shahabat yang pahalanya diberikan kepada si
mayit untuk meringankan bebannya di dalam kubur. Meskipun hadits di atas adalah
ucapan tabi’in, namun dalam masalah ini dapat dipakai sebagai dalil dengan
alasan :
1. Frase ( rangkaian kata ) إن الموتى يفتنون في
قبورهم سبعا
berisikan
informasi dunia gaib. Menurut istilah ilmu hadits, ucapan tabi’in yang demikian
dapat dikategorikan sebagai hadits marfu’ karena termasuk mâ lâ
majâla li al-‘aql fîh ( hal-hal yang bukan porsi kerja akal/tidak dapat
dinalar).
2. Hadits
marfu’ menurut madzahib tsalatsah selain Syafi’i dapat
menjadi sumber hukum. Sedang menurut Syafi’i harus mempunyai dalil pendukung
lain. Dalam hadits ini menurut as-Suyûthy dapat menjadi dalil karena hadits
senada juga diriwayatkan oleh Mujâhid dan ‘Ubaid ibn ‘Umair.
3. Frase
فكانوا
يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام menurut ahli hadits mempunyai tiga kemungkinan; dilakukan di
masa Nabi dan di setujui oleh Beliau, dilakukan oleh semua shahabat (ijma’),
dilakukan oleh sebagian shahabat. Tiga kemungkinan di atas menunjukkan bahwa perbuatan
ini berdasar dan telah dikenal di masa awal Islam.
Tradisi
ini, berdasarkan informasi yang diterima as-Suyûthy masih dilakukan di Makkah
dan Madinah ketika masa hidup beliau. Bahkan dalam riwayat Ibn Juraij dari
‘Ubaid ibn ‘Umair dijelaskan bahwa orang munafiq di fitnah di kubur selama
empat puluh hari. Imam Suyûthy juga menjelaskan bahwa menurut kitab-kitab
tarikh para ulama yang beliau kaji, masyarakat biasanya berdiri di atas makam
selama tujuh hari sambil membacakan al-Quran.[6]
Husnudhan kita kepada para sesepuh, mungkin berlandaskan hadits ini
tradisi tujuh hari dan empat puluh hari tetap dilestarikan oleh walisongo..Dari
sini dapat kita pahami, bershadaqah, membaca al-Quran, dan amal-amal lain
selama tujuh hari setelah kematian sudah dilakukan semenjak masa para shahabat.
Yang menjadi bagian tradisi masyarakat adalah mengadakan secara besar-besaran
pada hari ketiga, ketujuh, atau keempat puluh. Hal ini tidak berpengaruh apapun
selama diyakini hal itu hanya tradisi bukan ajaran agama.
- Bersalaman Setelah Shalat Maktubah
Bersalaman
setelah shalat menurut Imam Nawawi termasuk bid’ah mubâhah. Beliau mengatakan,
(مسألة) هل
المصافحة بعد صلاة العصر والصبح فضيلة أم لا ؟ الجواب المصافحة سنة عند التلاقي
وأما تخصيص الناس لها بعد هاتين الصلاتين فمعدود في البدعة المباحة والمختار أنه
إن كان هذا الشخص قد اجتمع هو وهو قبل الصلاة فهو بدعة مباحة كما قيل وإن كانا لم
يجتمعا فهو مستحب لأنه ابتداء اللقاء
(Soal) Apakah
bersalaman setelah shalat ‘Ashar dan Shubuh memiliki keutamaan atau tidak ? (
Jawab) bersalaman sunnah dilakukan ketika bertemu. Sedangkan tindakan
orang-orang mengkhususkan bersalaman setelah kedua shalat ini (‘Ashar dan
Shubuh) maka termasuk bid’ah mubâhah. Pendapat yang dipilih sesungguhnya
apabila seseorang telah berkumpul sebelum shalat maka termasuk bid’ah mubâhah
sebagaimana di atas. Sedang apabila
sebelumnya belum pernah berkumpul maka sunnah (bersalaman). Karena itu adalah
permulaan bertemu.[7]
Memang banyak hadits yang menjelaskan
kesunnahan bersalaman ketika bertemu. Diantaranya :
عن
حُذيفةَ بْنِ اليمان عن النبى r
قال "إنّ المؤمنَ إذا لقى المؤمن فسلَّمَ عليه وأخذ بيده
فصافحه تناثرت خطاياهما كما يتناثر ورق الشجر" رواه الطبرانى فى الأوسط
Sesungguhnya ketika seorang mukmin
bertemu dengan mukmin yang lain kemudian mengucapkan salam dan mengajak
berjabat tangan maka dosa-dosanya rontok laksana rontoknya dedaunan pepohonan (
HR. at-Thabrâny )
Bahkan menurut Hamzah an-Nâsyiry,
bersalaman setelah shalat hukumnya sunah secara mutlak, baik telah bersalaman
sebelumnya atau belum karena menurut Beliau shalat dianggap sebagai ghaibah hukmiyah.
Syeikh Ibn ‘Allân mengatakan, [8]
وأفتى حمزة الناشري وغيرُهُ باستحبابها
عقب الصلوات مطلقا أي وإن صافحه قبلها لأن الصلاة غيبة حكمية فتلُحق بالغيبة
الحسية
Hamzah an-Nâsyiry dan yang lainnya berfatwa
dengan kesunatan bersalaman setelah shalat secara mutlak, artinya meskipun
sebelum shalat telah bersalaman. Hal ini karena shalat adalah ghaibah hukmiyah
(secara hukum dianggap berpisah) sehingga disamakan dengan ghaibah hissiyah
(perpisahan secara nyata).
PERTANYAAN SEPUTAR BID’AH
Pertanyaan
Tentang hadits Semua Bid’ah Sesat
S : Bagaimana kita menanggapi hadits :
إياكم
ومُحْدَثَاتِ الأمورِ فإنّ كلَّ مُحْدَثَةٍ بدعةٌ وكلُّ بدعةٍ ضلالةٌ
“ Berhati – hatilah
kalian terhadap Muhdatsat ( hal – hal yang baru ) karena sesungguhnya semua
muhdatsat itu bidah , dan semua bidah adalah sesat “ (HR Abu Dâwud, Ahmad, Ibn
Mâjah )
Hadits di atas mengindikasikan bahwa
semua bid’ah adalah dlalâlah (sesat) ?
J Hadits diatas memang benar tetapi kita
tidak boleh tergesa-gesa memutuskan bahwa semua bidah adalah sesat. Untuk dapat memahaminya dengan benar kita
harus mengkaji semua hadits yang berhubungan dengannya. Sehingga kita tidak
terjerumus pada penafsiran yang salah. Di bawah ini akan coba kami jelaskan
ma’na hadits diatas, semoga Allah melapangkan hati kita .
Penjelasan Pertama
Untuk dapat memahami sebuah ayat atau
hadits dengan benar kita harus mempelajari sebab-sebab turunnya ayat atau
hadits tersebut . Sesungguhnya tidak semua ayat atau hadits dapat diartikan
secara langsung sesuai dengan makna lahiriyahnya dan tidak mau menerima
penafsiran para ulama. Sebab dengan demikian kita akan kebingungan sendiri .
Hadits وكل بدعة ضلالة tersebut merupakan
sebagian hadits yang membutuhkan penafsiran . Jika kata وكل بدعة (semua bid’ah)
tidak ditafsirkan , maka apa yang terjadi
? kita semua akan masuk neraka . Kenapa demikian ?
Sebab
kehidupan kita tidak lepas dari perbuatan bid’ah, seperti cara berpakaian,
berbagai jenis perabotan rumah tangga, sarana trasportasi (mobil, motor,
peSAWat), pengeras suara, lantai masjid yang terbuat dari marmer, dan
lain-lainnya adalah hal baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW dan para
sahabat beliau.
Jika hadits كل بدعة itu
diartikan secara lahiriyah dan tidak ditafsiri maka tentunya kita akan
mengatakan bahwa semua itu adalah bid’ah dan bagi pelakunya akan masuk neraka
.
Namun
tak satupun ulama yang mengatakan bahwa naik motor, naik mobil, pesawat, lantai
Masjid dengan tegel/marmer itu diharamkan. Para
ulama berpendapat bahwa itu semua termasuk perkara yang diperbolehkan (
Mubah)
Penjelasan
kedua
Hadits وكل بدعة ضلالة merupakan hadits yang
bersifat umum. Dalam hadits seperti ini biasanya terdapat kata atau kalimat
yang tidak disertakan, tidak diucapkan tetapi telah dipahami oleh pembaca atau
pendengarnya.
Hadits وكل بدعة ضلالة mirip dengan hadits
dibawah ini :
لايؤمنُ أحدُكم حتى يحب َّ لأخيه ما يحبُّ لنفسه
“Tidak beriman salah seorang diantara kalian sebelum ia
mencintai saudaranya seperti ia mencintai diri sendiri.”
(HR. Bukhori)
ليس
مِنَّا من لم يَتَغَنَّ بالقرآن
“Bukan
dari golongan kami seseorang yany tidak membaca Al-Quran dengan suara yang baik
(merdu).” (HR. Bukhiri, Abu Dawud dan Ahmad)
Jika
kata (Tidak dan bukan dari golongan kami) dalam beberapa hadits di atas
tidak dijelaskan dan ditafsirkan, lalu bagaimana nilai bacaan Al-Quran kita ?
Bagaimana kedudukan kita dalam Islam ?
Nabi
SAW mengatakan :
“ Bukan dari golongan kami”
Jika
tidak berada dalam golongan Nabi SAW dan para sahabatnya lalu kita berada dalam
kelompok (golongan) siapa?
Bukankah orang yang membaca Al -Qur’an
meskipun tanpa dilagukan itu bernilai pahala ?
Oleh
karena itulah, hadits di atas dan sejenisnya perlu dan harus ditafsirkan dengan
hadits lain sehingga kita tidak salah memahami ucapan Rasul SAW.
Para
Ulama’ menyatakan bahwa kata “tidak” dalam hadits di atas artinya adalah
“tidak sempurna.” Dalam hadits ini ada kata “sempurna” yang tidak diucapkan oleh Rasul karena telah
difahami para sahabat.
Sedangkan
kata “Bukan dari golongan kami”
artinya “Bukan dari golongan terbaik kami”.
Para ulama’ menjelaskan bahwa dalam hadits وكل بدعة ضلالة juga terdapat kalimah yang tidak
diucapkan oleh Nabi SAW namun telah dipahami oleh para sahabat. Kalimat
yang dibuang itu terletak setelah kata “ Bid’atin ” dan bunyinya adalah:
“Yang
bertentangan dengan syari’at”.
Dengan
demikian arti komplit hadits diatas adalah:
“ Semua
bid’ah yang bertentangan dengan syari’at adalah sesat dan semua
yang sesat tempatnya adalah dineraka”.
Terbukti Sayyidina Umar dalam masalah
tarawih menyatakan نعمت البدعة هذه . Ini menunjukkan Beliau memahami
maksud bid’ah di atas sebagaiamana yang dikemukakan para ulama.[9]
Penjelasan Ketiga
Menurut
Imam Nawawi hadits tersebut ditakhshîsh dengan hadits lain sehingga
hanya berlaku untuk bid’ah-bid’ah yang dlalalah. Hadits tersebut adalah
:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ ( رواه مسلم )
Hal
ini juga dikuatkan oleh ucapan Sayyidina Umar sebagaimana di atas. [10]
Penjelasan
Keempat
Lafal
كل yang ada dalam hadits tersebut
bermakna بعض ( sebagian ). Penggunaan كل dengan arti بعض seperti ini
juga terjadi dalam al-Quran misalnya : [11]
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ (
الأنبياء : 30 )
Dan dari air kami jadikan segala
sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? ( QS Al-Mu’minun
: 30 )
Walaupun ayat ini menggunakan kata kullu
namun tidak berarti segala sesuatu diciptakan dari air. Terbukti ada ayat :
وَخَلَقَ
الْجَانَّ مِنْ مَّارِجٍ مِّنْ نَّارٍ ( الرحمن : 15 )
Dan dia menciptakan jin dari nyala api ( QS ar-Rahmân :
15 ).
Dengan
demikian, كل dalam hadits di atas juga harus
diartikan بعض agar tidak
bertentangan dengan hadits lain semisal:
من ابتدع بدعةً ضلالةً لا
تُرضِي اللهَ ورسولَه كان عليه مِثْلُ آثامِ مَن عَمِل بها لا ينقص من أوزارهم
شيئٌ (رواه الترمذي)
Barang siapa memperbuat
bid’ah dlalâlah, bid’ah yang tidak membuat ridla Allah dan Rasul-Nya maka ia
mendapat dosa sebagaimana dosa orang yang melakukan bid’ah tersebut
(setelahnya).Tidak kurang sedikitpun dari dosa mereka. (HR at-Tirmidzai, Ibn
Mâjah).
Hadits
di atas secara tegas menyatakan bahwa ada pemilahan bid’ah. Terbukti Beliau
Rasulullah SAW menggunakan kata بدعةً ضلالةً yang secara tidak
langsung menyatakan ada bid’ah yang tidak dlalalah. Umpama semua bid’ah
sesat, tentunya Beliau SAW tidak akan menambah kata ضلالة dalam hadits di atas.
Pertanyaan Hadits Perbuatan Baru Ditolak
S Bagaimana kita menanggapi hadits :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ( رواه مسلم )
Barang siapa yang melakukan
suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya maka amal itu ditolak ( HR
Muslim dari ‘Aisyah ).
Hadits di atas seakan menunjukkan bahwa
setiap bid’ah adalah sesat ?
J Hadits di atas memang benar. Namun tidak
dapat digunakan landasan untuk mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat.
Terbukti dalam hadits di atas disebutkan : لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا
. Ini
menunjukkan bahwa yang
ditolak adalah hal baru yang tidak mempunyai landasan sama sekali dalam agama.
Sedang yang mempunyai dalil meskipun secara umum tidak masuk dalam kategori
hadits ini.
Catatan
Hadits yang semisal ini memang sering
dijadikan dalil melarang semua hal baru yang tidak pernah dilaksanakan di masa
Nabi SAW, padahal yang dimaksud tidak seperti itu. Para ulama menyatakan bahwa
yang dilarang dalam hadits-hadits itu adalah membuat-buat hukum baru yang tidak
pernah disebutkan dalam al-Quran atau hadits, baik secara tegas atau tidak
(implisit), secara umum atau khusus, lalu meyakininya sebagai suatu bentuk
ibadah murni Kepada Allah SWT.
Amal-Amal
yang Tidak Dilakukan Nabi dan Shahabat
S Bukankah banyak tradisi dan amaliyah
masyarakat yang tidak pernah dilakukan oleh para shahabat maupun ulama salaf.
Ini ‘kan satu
bukti amaliyah tersebut tidak disyariatkan dan tidak diperbolehkan. Umpama hal
tersebut diperbolehkan tentu mereka ( para shahabat dan ulama salaf ) akan melakukannya
?
J Tidak
setiap amaliyah yang tidak dikerjakan oleh shahabat atau ulama salaf berarti
tidak boleh. Ada
kemungkinan hal tersebut tidak dikerjakan oleh mereka karena udzur, momen yang
tidak tepat, atau faktor lain. Standar menentukan bid’ah adalah adanya landasan
hukum menurut syara’ ataukah tidak, bukan pernah dilakukan orang kuno atau
tidak. Imam Syafi’I mengatakan :
كلُ ما له مُستَنَدٌ مِن الشرعِ فليس
ببدعةٍ ولو لم يَعملْ به السّلفُ لأنّ تركَهم لِلْعَملِ به قد يكونُ لعذرٍ قام لهم
في الوقت أو لِمَا هو أفضلُ منْهُ أو لعلّه لَمْ يَبْلُغْ جميعَهم عِلْمٌ به
Setiap hal yang mempunyai landasan dari
syara’ maka tidak termasuk bid’ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama
salaf. Karena mereka meninggalkan hal tersebut ada kemungkinan disebabkan udzur
yang ada pada waktu itu atau karena terdapat amal yang lebih utama atau
disebabkan informasi tentang hal tersebut tidak menjangkau mereka semua.[12]
Hal ini juga pernah diungkapkan oleh Sayyidina ‘Ali
sebagaimana dalam hadits :
عن الوليد بن سريع مولَى عمرٍو بن
حريث قال خرجْنا مع أمير المؤمنين علي بن أبي طالب t في يوم عيد فسَأَلَه قوم من أصحابه فقالوا يا أمير المؤمنين ما
تقول في الصلاة يوم العيد قبل الإمام وبعده قال فلمْ يَرُدَّ عليهم شيئا ثم جاء
قوم آخر فسألوه كما سألوه الذين كانوا قبلهم فما رَدَّ علهيم فلما انتْهَيَنْاَ
إلى الصلاة صلَّى بالناس فكبَّرَ سبعا و خمسا ثم خطب الناسَ ثم نزل فركِب فقالوا
يا أمير المؤمنين هؤلاء قومٌ يُصَلُّونَ
قال فما عسيتُ أن أصْنَعَ سألتموني عن السُّنَّة فإن النبي r لمْ يُصَلِّ قبلها ولا بعدها فمَنْ شاء فَعل ومن شاء تَرك أتَرَوْنِي
أمْنَعُ أقواما يُصَلُّون فأكون بمنزلة من يمنع عبدا أن يُصَلِّيَ ( رواه البزار )
Dari al-Walîd ibn Sarî’ maulâ ‘Amr ibn Harîts ia berkata :
Aku keluar bersama Amiril mukminin Ali bin Abi Thalib di hari raya. Beliau
ditanya oleh para sahabatnya. Mereka berkata," Ya Amiral mu’minîn,
Bagaimana pendapat Anda tentang orang yang shalat ( sunnah ) di hari raya
sebelum imam dan setelahnya ?" Beliau tidak menjawab sama sekali. Kemudian
datang segolongan orang menanyakan hal yang sama. Beliau juga tidak menjawabnya.
Ketika kami sampai di tempat shalat beliau shalat mengimami manusia dengan
takbir tujuh kali dan lima
kali. Kemudian Beliau berkhotbah lalu turun dan naik kendaraan. Mereka (
manusia) bertanya,"Ya Amiral mu’minîn, mereka segolongan orang melakukan
shalat." Beliau berkomentar,"Apa yang harus kuperbuat ? Kalian
menanyakan padaku tentang sunnah. Padahal Nabi SAW tidak pernah melakukan
shalat sebelumnya ( shalat ‘îd ) maupun sesudahnya. Barang siapa yang ingin
maka shalatlah. Barang siapa siapa yang ingin ( tidak melakukan ) maka
tinggalkanlah ! Apakah kalian pikir aku akan melarang orang-orang untuk
melakukan shalat sehingga aku seperti orang yang melarang seorang hamba untuk
melakukan shalat?" ( HR Bazzâr ).
Dalam
kisah di atas, ternyata Sayyidina Ali tidak melarang orang yang melakukan
shalat sunnah sebelum melakukan shalat hari raya. Padahal hal itu tidak pernah
dilakukan Rasululah. Beliau tidak ingin dikenal sebagai orang yang berlagak
menjadi penentu hukum dengan melarang suatu perbuatan padahal Nabi tidak pernah
melarangnya. Ini menunjukkan suatu perbuatan diperbolehkan selama tidak ada
larangan dari syara’.
Tidak Setiap Yang Ditinggalkan
Rasulullah Berarti Tidak Boleh
Di
samping itu, tidak setiap yang ditinggalkan Rasulullah SAW berarti tidak
diperbolehkan. Hal tersebut bisa disebabkan beberapa faktor. Diantaranya :
1.
Beliau meninggalkan karena jijik. Sebagaimana dalam hadits :
عَنْ
خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ r بَيْتَ مَيْمُونَةَ فَأُتِيَ بِضَبٍّ مَحْنُوذٍ فَأَهْوَى إِلَيْهِ
رَسُولُ اللَّهِ r بِيَدِهِ فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ أَخْبِرُوا رَسُولَ اللَّهِ r بِمَا يُرِيدُ أَنْ يَأْكُلَ فَقَالُوا هُوَ ضَبٌّ يَا رَسُولَ
اللَّهِ فَرَفَعَ يَدَهُ فَقُلْتُ أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ لَا
وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ قَالَ خَالِدٌ
فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَنْظُرُ
Dari Khalid bin Walîd sesungguhnya ia masuk bersama
Rasulullah SAW ke rumah Maimunah. Rasulullah disuguh dengan dlab (hewan mirip
biawak yang ada di Arab) yang dipanggang. Rasulullah menjulurkan tangan Beliau
ke hidangan tersebut. Sebagian wanita berkata,“Mintalah Rasulullah memilih apa
yang hendak beliau makan !” Para sahahbat pun berkata, “Ini adalah dlab, Wahai
Rasulallah !” Rasulullah pun mengangkat tangannya. Aku (Khalid)
bertanya,“Apakah ini haram, Wahai Rasulallah?” Beliau menjawab, “Tidak, hanya
saja ini tidak terdapat di tanah kaumku sehingga aku merasa jijik (tidak
berselera). Khalid berkata, “Maka akupun memakannya, sedang Rasulullah SAW
melihat.” (HR Bukhâri : 5111)
Hadits di atas menunjukkan bahwa
Rasulullah kadang meninggalkan sesuatu karena menurut Beliau menjijikkan
meskipun itu tidak haram.
2.
Meninggalkan karena lupa sebagaimana dalam hadits :
سها r في الصلاة فترك
منها شيئا فسُئل هل حَدث في الصلاة شيئ قال إنما أنا بشر أنسَى كما تنسَون فإذا
نسيتُ فذكِّروني ( أخرجه البخاري ومسلم وغيرهما)
Rasulullah SAW lupa dalam shalat sehingga Beliau meninggalkan
sesuatu. Beliau ditanya,”Apakah ada peraturan baru dalam shalat?” Beliau
menjawab, “Aku adalah manusia. Aku juga lupa sebagaimana kalian lupa. Maka bila
aku lupa, ingatkanlah!” (HR Bukhari).
3. Meninggalkan karena khawatir akan difardlukan seperti dalam
permasalahan shalat tarawih.
4.
Meninggalkan karena telah masuk dalam anjuran ayat atau hadits secara umum
seperti meninggalkan beberapa macam bentuk kesunahan karena telah terangkum
dalam perintah
Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
Dan ayat-ayat yang lain.
5.
Dan faktor-faktor lain.[13]
Contoh Perbuatan Yang Dilakukan Shahabat
Tanpa Ada
Keterangan Dari Nabi
Para shahabat ternyata sangat memahami
konsep yang diajarkan Rasulullah. Terbukti mereka sering melakukan perbuatan
yang mereka tidak melihat Rasulullah SAW melakukan atau memerintahkan dan Nabi
SAW ternyata menyetujui perbuatan tersebut. Di samping itu, mereka juga
melakukan suatu perbuatan sepeninggal Rasulullah SAW yang mereka anggap hal itu
masih masuk dalam kategori perbuatan yang dianjurkan secara umum atau
diperbolehkan. Di bawah ini kami sampaikan sebagian contoh dari perbuatan yang
dilakukan para shahabat tersebut :
1. Perbuatan yang
Dilakukan di Masa Rasulullah
C
عن سيدنا رِفاعةَ بنِ رافعٍ t قال كُنَّا نُصلِّي وراءَ
النبي r فلَمَّا رَفع رأسَه مِن الركعةِ قال سمع الله لِمَن حمده قال رجل
وراءه ربنا ولك الحمد حمدًا كثيرًا طيِّبا مبارَكًا فيه فلَمَّا انْصرفَ قال مَنِ
المتكلِّمُ قال أنا قال رأيتُ بِضْعَةً وثلاثين مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهمْ
يَكْتُبُها ( أخرجه البخاري والنسائي وأبو داود وأحمد وابن خزيمة )
Dari Sayyidina Rifâ`ah bin Râfi’ ra. Beliau berkata : Kami
shalat ( berjamaah ) di belakang Rasulullah SAW. Ketika beliau SAW mengangkat
kepala dari ruku’ beliau SAW bersabda : Sami’allahu liman hamidah. Seseorang di
belakang beliau mengatakan : Rabbanâ walaka al-hamd hamdan katsîran thayyiban
mubârakan fîh. Ketika selesai shalat Rasulullah bertanya : “Siapa yang berkata
tadi ?” Laki-laki tersebut menjawab : “Saya.” Rasulullah bersabda : “Aku
melihat lebih dari tiga puluh malaikat terburu-buru siapa di antara mereka yang
akan mencatat amal ( bacaan ) tersebut.” ( Ditakhrîj oleh al-Bukhâri,
an-Nasâ`I, Abu Dâwud, Ahmad, dan Ibn Khuzaimah ).
Ibn
Hajar al-‘Asqalâny dalam Fath al-Bâri`mengatakan, “ Hadits tersebut menjadi
dalil diperbolehkan membaca dzikir dalam shalat yang tidak diajarkan Rasulullah
SAW selama tidak menyalahi yang diajarkan Rasulullah SAW ( ma`tsûr ) dan
diperbolehkan berdzikir dengan suara keras selama tidak mengganggu orang lain.”
[14]
C
عن سيدنا أنس بن مالك t قال كنتُ جالسا مع رسول
الله r في الحَلَقَة إذ جاء رجلٌ فسلََّم على النبي r وعلى القوم فقال السلام عليكم فقال رسول الله r وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته فلَمَّا جلس قال الحمد لله
حمدًا كثيرا طيِّبًا مبارَكًا فيه كما يُحِبُّ ربُّنا ويَرْضَى فقال النبي r والذي نفسي بيده لَقَدِ
ابْتَدَرَها عشرةُ أمْلاكٍ كلُّهم حَريصونَ على أنْ يكتبوها فما دَرَوْا كيف
يَكتبونها فرَجعُوا إلى ذي العِزَّةِ جَلَّ ذِكْرُهُ فقال اكْتُبُوها كما قال عبدي
( أخرجه أحمد )
Dari Sayyidina Anas bin Malik ra. Ia berkata : Aku duduk bersama
Rasulullah SAW dalam suatu halaqah. Tiba-tiba datang seoarng laki-laki. Ia
mengucapkan salam kepada Rasulullah dan orang-orang dengan mengucapkan :
Assalâmu’alaikum. Rasulullah SAW menjawab, "Wa’alaikum wr.wb. Ketika mau
duduk ia berkata, "al-Hamd lillâh hamdan katsîran Thayyiban
Mubârakan fîh kamâ Yuhibbu Rabbunâ wa Yardlâ." Kemudian Rasulullah SAW
bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya. Sungguh
sepuluh malaikat berebut karena ingin mencatat amal ( bacaan ) tersebut. Mereka
tidak mengetahui bagaiman cara mencatatnya. Kemudian mereka mengadu kepada
Allah SWT. Allah berfirman, "Tulislah sebagaiman yang diucapkan
hambaku." ( HR Ahmad )
C
عن السيدة عائشة رضي الله عنها أن النبي r بعث رجلا على
سَرِيَّةٍ وكان يقرأ لأصحابه في صلاته فيختِمُ ب "قل هو الله أحد"
فلمَّا رجعوا ذكروا ذلك للنبي r فقال سَلُوْه لأيِّ شيء
يصنَع ذلك ؟ فسألوه فقال لأنها صفة الرحمن وأنا أُحِبُّ أنْ أقرأ بها فقال النبي r أخبِروه أن الله
يحبه (أخرجه البخاري ومسلم وغيرهما)
Dari Sayyidah ‘Aisyah ra. sesungguhnya Nabi mengutus seorang
laki-laki untuk menjadi kepala pasukan perang. Dalam shalat, ia membaca
al-Quran dan mengakhiri dengan Qul huwa Allah ahad. Ketika mereka
(pasukan perang) kembali, mereka menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah
SAW. Rasulullah bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukan itu ?”
Kemudian mereka menanyakan kepadanya. Ia menjawab, “Karena itu (al-Ikhlâsh)
adalah sifat Allah dan aku suka untuk membacanya.” Rasulullah bersabda,
“Beritahukan kepadanya bahwasanya Allah mencintainya.” (HR Bukhâri Muslim dan
lainnya).
2. Perbuatan yang Dilakukan Sepeninggal Rasulullah
عن أبي الطفيل
قال قدِم معاويةُ وابن عباس الكعبة فاسْتَلَمَ ابن عباس الأركان كلها فقال له
معاوية إنما استلم رسول الله r الركنين اليَمَانيْنِ قال
ابن عباس ليس شيءٌ من البيت مهجورا (أخرجه البخاري والترمذي)
Dari Abu Thufail ia
berkata, Mu’awiyah dan Ibn ‘Abbâs mendatangi Ka’bah. Kemudian Ibn ‘Abbas
mengusap semua rukun (sudut Ka’bah). Mu’awiyah berkata, “Sesungguhnya
Rasulullah SAW hanya mengusap dua rukun Yamany.” Ibn Abbas berkata, “ Tidak ada
bagian dari baitullah yang dilarang.” (HR Bukhâri dan at-Tirmidzi)
Termasuk
di dalam hal ini adalah perbuatan-perbuatan lain yang sudah masyhûr seperti
adzan dua kali dalam shalat Jum’at dan mengumpulkan mushaf oleh Sayyidina
‘Utsman, merutinkan dan mengumpulkan shahabat dalam jamaah shalat tarawih oleh
Sayyidina Umar, memerangi para penentang zakat oleh Sayyidina Abu Bakar, dan
lain-lain.
[1] Abî Muhammad ‘Izz ad-Dîn ibn ‘Abd
as-Salâm, Qawâ’id al-Ahkâm, ( Beirut : Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyah ), tt.,
vol. II, hal. 172. Pendapat ini didukung oleh Imam Syâfi’I, Imam Nawawi, dan
Abû Syâmah dari Syâfi’iyyah, al-Qarâfy dan az-Zarqâny dari Mâlikiyah, Ibn
‘Âbidîn dari Hanafiyah, Ibn al-Jauzy dari Hanâbilah, dan Ibn Hazm.
[2] Syihâb ad-Dîn Ahmad bin ‘Ali bin
Muhammad bin Hajar al-‘Asqalâny, Fath al-Bâri`, (Beirut : Dâr al-Ma’rifah),
1979, vol. XIII, hal. 293
[3] Abî Muhammad ‘Izz ad-Dîn ibn ‘Abd
as-Salâm, Op.Cit., hal. 173.
[4] Abi Bakr bin Muhammad Syathâ, I’ânah
at-Thâlibîn, (Beirut : Dâr al-Fikr), vol.I,
271., Ibn Hajar al-Haitamy, al-Fatâwâ al-Hadîtsiyah, ( Beirut : Dâr al-Fikr), hal. 109-110.
[5] KH. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl
as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 6-7
[6] Jalâl ad-Dîn as-Suyûthy, al-Hâwî
li al-Fatâwi, Dâr al-Jîl, cet.ke-1, 1412, vol.II, hal. 178.
[7] Yahyâ bin Syaraf an-Nawawi, Fatâwî
an-Nawawi, hal.61
[8] Muhammad bin ‘Allân as-Shiddîqy, al-Futûhât
ar-Rabbâniyah ‘alâ al-Adzkâr an-Nawawiyah, (Beirut : Dâr al-Fikr), 1978, vol.V, hal.297
[9] Novel bin Muhammad Alaydrus, Mana
Dalilnya Seputar Permasalahan Ziarah Kubur, Tawassul, Tahlil, (Surakarta : Taman Ilmu),
cet. ke-III, Maret 2005, hal.17-20
[10] Yahyâ bin Syaraf an-Nawawi, Syarh
Muslim, (Beirut
: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah), 1995, vol.III, hal.461
[11] Ibid, Muhyiddin
Abdusshamad, Fiqh Tradisionalis, ( Khalista : Surabaya ), cet.ke-3, 2005, hal. 29-31.
[12] Yûsuf Khaththâr Muhammad, al-Masû'ah
al-Yûsufiyah fî Bayân Adillah as-Shûfiyah, (Damaskus : Dâr at-Taqwâ), hal.
480.
[13]Ibid, hal.485.
[14] Ibid, hal. 495.
Post a Comment for "DUNIA BID’AH"